Artikel Posbakum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Al-Qur’an dan Hadits telah dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk saling tolong menolong antara manusia, dalam semua bidang kehidupan tetapi saling tolong menolong itu dibatasi hanya dalam perkara-perkara kebajikan dan sangat dilarang apabila tolong menolong tersebut dilakukan untuk mengerjakan kemunkaran dan maksiat kepada Allah SWT, hal ini tertuang dalam Al-Qur’an surah Al-maidah ayat 2 yang berbunyi:
• •
Artinya:
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.(Q.S. Almaidah 5 : 2).
وقََوله تعالى : ( وتعاونواعلى البر والتقوى ولاتعونواعلى الاثم والعدوان) يأمرتعلى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل الخيرات وهوالبر ،وترك المنكرات وهو التقوي ، وينهاهم عن التناصرعلى الباطل والتعاون على الاثم والمحارم
Ismail ibnu Katsir dalam Mukhtasar Tafsirnya mengatakan bahwa firman Allah ta’ala : “dan tolong menolonglah dalam kebajikan dan janganlah tolong menolong dalam kejahatan” sesungguhnya Allah ta’ala memerintahkan kepada hambanya yang beriman dengan cara tolong menolong atas perbuatan kebaikan yaitu kebajikan, dan menjauhi segala kerusakan yaitu dengan bertakwa, dan juga Allah melarang kita untuk saling tolong menolong dalam kebathilan dan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
قوله تعالى: ( وتعاونواعلى البروالتقوى ولاتعونواعلى الاثم والعدوان) على وجوب التعاون بين الناس البرو التقوى،ولانتهاءعما نهى الله عنه، وحرمة التعاون على المعصي والذ نوب
Dalam Tafsir Al-munir surat Al-ma’idah ayat 2 dalam firman Allah ta’ala “dan tolong menolonglah dalam kebajikan dan janganlah tolong menolong dalam kejahatan” atas kewajiban tolong menolong antara sesama manusia dalam hal kebajikan dan takwa dan tidak melanggar dengan apa yang dilarang Allah yang diberikan kepada kalian, dan diharamkannya tolong menolong dalam hal maksiat dan dosa.
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a dijelaskan pula Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ…
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya.” (H.R. Muslim)
Ayat dan hadits diatas telah dijelaskan bahwa tolong menolong itu sangat dianjurkan oleh agama baik pertolongan itu dalam hal-hal yang bersifat keduniaan maupun dalam hal-hal yang bersifat keukhrawian, hal inilah yang mempengaruhi pemberian bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis maupun secara keilmuan.
Gugatan ataupun Permohonan berperkara di pengadilan bisa diajukan secara lisan ataupun tertulis, tetapi dalam perkembangan hukum dewasa ini, gugatan ataupun permohonan harus diajukan secara tertulis.
Masyarakat yang tidak mampu dan awam hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan agama sering kali dihadapkan pada aturan dan bahasa hukum yang terkadang kaku dan prosedural. Baik dalam tahapan litigasi ataupun non litigasi semuanya harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum itu sendiri atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan ditolak oleh pengadilan padahal bisa jadi hanya karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum.
Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 D (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Jaminan negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan.
Pengadilan juga mempunyai asas aktif memberi bantuan asas ini dicantumkan dalam Pasal 58 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 Jo. Pasal 5 ayat 2 UU no.14 Tahun 1970 yang berbunyi: “Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Pasal 56 UU No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 60B UU No. 50/2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa “setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu”. Pasal 57 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 60 (c) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama juga mengatur bahwa “di setiap Pengadilan dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum”. Dalam ayat berikutnya disebutkan bahwa bantuan hukum tersebut diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 mengatur tentang pedoman pemberian bantuan hukum, khususnya dalam pembuatan surat gugatan/permohonan dan perkara jinayat, perkara prodeo serta sidang keliling diperlukan sebagai bentuk pelaksanaan amanat undang-undang dan rujukan dalam menjamin optimalisasi akses masyarakat miskin dan termarjinalkan terhadap pengadilan agama/mahkamah syar’iyah.
Tetapi disini penulis lebih tertarik meneliti Pos Bantuan Hukum yang tercantum dalam lampiran B (SEMA No.10 Tahun 2010) pada bagian Tiga tentang Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang tercantum dalam pasal 16 – 23.
Ringkasnya poin-poin penting dalam pelaksanaan serta pembentukan Pos Bantuan Hukum adalah :
1. Jenis Jasa yang diberikan adalah berupa pemberian informasi, konsultasi, advis, dan pembuatan surat gugatan / permohonan
2. Pemberian Jasa di Pos Bantuan Hukum adalah: Advokat, Sarjana Hukum, dan Sarjana Syariah.
3. Pemberi Jasa yang akan bertugas di Pos Bantuan Hukum ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama melalui kerjasama kelembagaan
4. Yang berhak menerima jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai penggugat/pemohon maupun tergugat/termohon.
Setelah diterbikannya SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, Pengadilan Agama Palangka Raya berpandangan bahwa beracara secara cepat, mudah, dan biaya ringan, itulah yang sering didengar dengan istilah constante justitie, yaitu salah satu asas beracara di lembaga peradilan. Begitu halnya yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Palangka Raya, beberapa usaha seperti apa yang diprogramkan oleh Badan Peradilan Agama (Badilag) melalui upaya pembentukan Pos Bantuan Hukum yang selanjutnya akan disebut dengan (Posbakum) dengan berdasar kepada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
Tujuan adanya bantuan hukum yangdiberikanoleh Posbakum, sebagaimana pasal 2 SEMA No.10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di lingkungan peradilan agama adalah :
1. Membantu masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomis dalam menjalankan proses hukum di pengadilan;
2. Meningkatkan akses terhadap keadilan;
3. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajibannya, dan
4. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
Dari tujuan tersebut bisa dilihat bagaimana upaya dari lembaga peradilan untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat pencari keadilan, baik melalui cara beracara secara cuma-cuma (prodeo), pelaksanaan sidang keliling maupun mendapatkan bantuan hukum seperti advise hukum maupun pembuatan gugatan.
BAB II
SEJARAH, DASAR HUKUM, MEKANISME PEMBENTUKAN POSBAKUM DI PENGADILAN AGAMA DAN ASAS-ASAS UMUM PERADILAN AGAMA
A. Sejarah Pos Bantuan Hukum
Undang-undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pada pasal 35 menyatakan bahwa: ”setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.
Pasal 36 menyatakan bahwa: ”dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum”.
Dua pasal di atas menerangkan bahwa setiap orang yang berperkara pidana mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum, hanya untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum saja. Kemudian timbullah masalah baru, dalam beberapa tahun setelah pengesahan UU No. 14 Tahun 1970 ini banyak sekali orang-orang yang tidak mampu, melakukan sidang tanpa ada pembela (penasehat hukum).
Yan Apul, Sekretaris Peradin waktu itu, yang memunculkan gagasan perlunya advokat memberi bantuan hukum secara cuma-cuma di pengadilan, gagasan menyelenggarakan bantuan hukum secara cuma-cuma bermula dari kepergiannya ke PN Jakarta Barat, bersamaan dengan adanya kunjungan Ketua Asosiasi Advokat dari Jepang. Siang itu, sejumlah tahanan digiring ke pengadilan. Melihat orang-orang berbaju biru dengan kepala diplontos itu, advokat dari jepang lalu menanyainya, mana pembelanya, dengan malu ia terpaksa jujur, tidak ada. Bermula dari itu, Yan Apul berpikir kenapa advokat tidak bisa mengabdi pada masyarakat.
Setelah kejadian yang membuat malu itu, ia pun lalu menemui seorang Jaksa Agung Muda. Sang Jaksa menyindir, mengapa advokat seperti kamu tak berniat memberikan bantuan pada masyarakat dengan cuma-cuma. Apul tak pernah terpikir ide untuk itu. Panjang lebar mereka berdiskusi, muncul ide mendirikan pos-pos bantuan hukum di pengadilan. Maka lahirlah nama Pos Bantuan Hukum (Posbakum), nama yang dipakai hingga kini.
Selanjutnya, Apul membawa angkatan pertama lulusan sekolah kursus advokat kepunyaannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dia meminta Ketua PN Jakarta Timur saat itu, Bismar Siregar supaya anak didiknya ditampung dan diperbolehkan mendirikan Posbakum di pengadilan. Lalu Bismar Siregar menyambut gembira usulannya tersebut. Kemudian dilantiklah 16 orang muridnya oleh Bismar Siregar yang merupakan Ketua PN Jakarta Timur. Mereka diberikan tempat di bawah tangga untuk mendirikan pos. Tak cukup itu, Apul merintis sejumlah pos-pos baru di PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Barat, namun rintisan Apul ternyata tak semulus jalan tol. Sempat muncul penolakan dari PN Jakarta Selatan. Sebabnya, tutur Apul, di PN Jakarta Selatan seperti sudah terpetak-petak, saat itu sudah dimiliki oleh LBH, tidak ada tempat buat Posbakum.
Adnan Buyung Nasution sempat mengkritik gagasan Apul, Adnan Buyung Nasution mengira gagasan pembentukan Posbakum itu hendak membuat lembaga tandingan. Apul pun menjelaskan, Posbakum memiliki konsep pembela instant, berbeda dengan LBH yang kantoran. Artinya, tak perlu melapor ke kantor terlebih dulu, tiap kali ada terdakwa datang ke sidang tanpa ada pembela, awak Posbakum akan datang untuk mendampingi.
Dana operasional Posbakum, dulunya sebagian dibantu oleh Departemen Kehakiman, sebagian lagi dapat dari klien. Dalam perkembangannya, tak hanya perkara pidana saja yang ditangani Posbakum, mereka juga membuka konsultasi ataupun penanganan buat perkara perdata.
Dalam revisi Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, peranan Posbakum belum mendapat respon dari pemerintah tidak ada satu ayat ataupun pasal yang menyentuh tentang Posbakum.
Dimana pasal – pasal itu hanya berubah sedikit saja yaitu:
Pasal 37: ”Setiap orang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”
Pasal 38: ”Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat”.
Ternyata, setelah direvisinya undang-undang tersebut tidak ada perubahan yang signifikan dalam ranah peradilan masih banyak orang-orang yang menghadapi persidangan tanpa dibantu penasehat hukum, dan juga menurut temuan penelitian tahun 2007, masyarakat miskin menghadapi hambatan utama dalam masalah keuangan untuk mengakses pengadilan agama yang berkaitan dengan biaya perkara dan ongkos transportasi untuk datang ke pengadilan. Kemudian, temuan tersebut direspon oleh Mahkamah Agung dengan memberikan perhatian besar untuk terselenggaranya sidang keliling dan pembebasan biaya perkara dengan proses prodeo.
Walaupun prodeo dan sidang keliling sudah mulai berjalan di hampir seluruh pengadilan agama di indonesia. Namun, bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu tidak hanya sebatas pada pemberian kedua fasilitas tersebut. Masyarakat miskin biasanya identik dengan tingkat pendidikan rendah yang berimplikasi pada minimnya pengetahuan mereka terhadap masalah hukum ketika harus membawa perkaranya ke pengadilan. Masyarakat yang tidak mampu dan awam hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan sering kali dihadapkan pada aturan dan bahasa hukum yang kadang terkesan kaku dan prosedural, baik dalam tahapan litigasi maupun non litigasi semuanya harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum itu sendiri, atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan ditolak pengadilan padahal bisa jadi hanya karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum. Setelah lahirnya undang-undang tersebut dan temuan tersebut, Posbakum bukannya mati tetapi bertambah luas lagi fungsinya sehingga Posbakum sudah tersebar diberbagai pengadilan negeri di Jakarta, melihat perkembangan serta fungsi Posbakum sangat efektif dalam membantu orang-orang yang tidak mampu serta orang-orang yang tidak mempunyai pembela dalam persidangan, kemudian Pemerintah merevisi Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, khusus dalam bab bantuan hukum terdapat beberapa perubahan yang sangat mencolok yaitu pada pasal 56 dan Pasal 57 yang berbunyi:
Pasal 56: (1). Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
(2). Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.”
Pasal 57: (1). Pada setiap Pengadilan Negeri dibentuk Pos Bantuan Hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2). Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3). Bantuan hukum dan Pos Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Gagasan Yan Apul tentang Posbakum ternyata tidak sia-sia dan telah disetujui oleh pemerintah sehingga Posbakum merupakan kewajiban setiap pengadilan negeri untuk membentuknya, walaupun menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Posbakum hanya ada di pengadilan negeri saja dan tidak ada di pengadilan agama. Melihat pentingnya bantuan hukum yang diberikan kepada orang tidak mampu tidak hanya dalam perkara pidana saja tetapi juga dalam pengadilan agama yang ranah perkaranya adalah perkara perdata islam dan juga mahkamah syar’iyyah untuk penjalanan Qanun di Nangroe Aceh Darussalam, pemerintah lalu merevisi lagi Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dengan memasukkan Posbakum harus dibentuk disetiap pengadilan agama/mahkamah syar’iyyah untuk membantu orang-orang yang tidak mampu, dalam UU No. 50 Tahun 2009 menyebutkan dalam beberapa pasal, yaitu:
Pasal 60 B (1). Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
(2). Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
(3). Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud ayat (2) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari tempat domisili yang bersangkutan
Pasal 60C: (1). Pada setiap Pengadilan Agama dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2). Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3). Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Inilah dasar panduan yang digunakan pengadilan agama untuk membentuk Posbakum, tetapi setelah disahkannya Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama ini, tidak serta merta Posbakum dapat dibentuk oleh masing-masing pengadilan agama, hal ini dikarenakan pengadilan agama masih merasa asing dengan Posbakum yang merupakan hal baru di pengadilan agama, berbeda dengan lingkungan peradilan umum yang sudah mengenal Posbakum sejak tahun 1979, tidak selang beberapa lama Presiden lalu mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan, juga telah dijabarkan dalam bentuk program tindakan pemberian konsultasi dan bantuan hukum secara prodeo bagi masyarakat miskin dan kelompok termarjinalkan lainnya, dan juga presiden memberikan poin-poin penting dalam Inpres No.3 Tahun 2010 tersebut, yaitu: Persidangan tanpa biaya (prodeo), sidang keliling, dan Pemberian bantuan hukum secara prodeo , melihat hal tersebut Mahkamah Agung sebagai atap dari berbagai peradilan yang ada di Indonesia lalu menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, yang ditujukan kepada seluruh ketua pengadilan negeri dan pengadilan agama untuk memberikan bantuan hukum di masing-masing pengadilan yang mereka pimpin serta memberikan Standart Operasional Prosedur (SOP) dengan mengirimkan lampiran SEMA yang berisikan SOP tersebut; Lampiran A berisikan tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum yang diperuntukkan kepada Pengadilan Negeri, sedangkan yang Lampiran B berisikan Pedoman Pemberian Bantuan Hukum yang diperuntukkan kepada Pengadilan Agama serta Mahkamah Syar’iyah di Nangroe Aceh Darussalam.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum khususnya lampiran B berisikan tentang macam-macam bantuan hukum yang bisa diberikan oleh pengadilan agama dan mahkamah syar’iyah, seperti; sidang keliling, penyelesaian perkara dengan prodeo, serta pembentukan Pos Bantuan Hukum.
B. Dasar Hukum Pos Bantuan Hukum.
Dasar Hukum Pedoman Penyelenggaraan dan Penggunaan Anggaran Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
3. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
4. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
5. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam;
6. HIR (Herziene Indonesisch Reglement) Staatsblad 1941 Nomor 44 / RBg (Reglement Buiten Govesten) Staatsblad 1927-227;
7. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura;
8. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
9. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
10. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat;
11. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
12. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2009 Tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada dibawahnya;
13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma;
14. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, Edisi Revisi 2009, Mahkamah Agung RI, 2009;
15. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 10 Tahun 2010, tentang Bantuan Hukum dilingkungan Peradilan Tingkat Pertama;
C. Pembentukan, Tugas dan Kewenangan, Syarat, Mekanisme Memperoleh Jasa, Imbalan Jasa, Mekanisme Pengawasan dan Pertanggung Jawaban Pos Bantuan Hukum.
Pembentukkan, Kewenangan, serta Kewajiban yang diberikan kepada Pos Bantuan Hukum sesuai dengan amanat SEMA no. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum terangkum dalam berbagai pasal dalam SEMA itu sendiri, dan juga dalam Keputusan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Sekertaris Mahkamah Agung RI No: 04/TUADA–AG/II/ 2011, No: 020/SEK/SK/II/2011. Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran B yang akan dibagi dalam beberapa sub bagian:
1. Pembentukkan.
Pembentukkan Posbakum di pengadilan agama diatur dalam Undang-undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 60C ayat (1) yang berbunyi:
”Pada setiap Pengadilan Agama dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.”
Berdasarkan pasal diatas maka di setiap pengadilan agama harus membentuk Posbakum, kemudian tata cara pembentukan Posbakum diatur lagi dalam beberapa pasal yang tercantum di SEMA No.10 Tahun 2010 yaitu pada pasal 16 dan 18 yang bebunyi:
Pasal 16
Pembentukan Pos Bantuan Hukum
(1) Pada setiap Pengadilan Agama dibentuk Pos Bantuan Hukum.
(2) Pembentukan Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama dilakukan secara bertahap.
(3) Pengadilan Agama menyediakan dan mengelola ruangan dan sarana serta prasarana untuk Pos Bantuan Hukum sesuai kemampuan.
Pasal 18
Pemberi Jasa Di Pos Bantuan Hukum
(1) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum adalah:
a. Advokat;
b. Sarjana Hukum; dan
c. Sarjana Syari’ah.
(2) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum berasal dari organisasi bantuan hukum dari unsur Asosiasi Profesi Advokat, Perguruan Tinggi, dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum dapat diberi imbalan jasa oleh negara melalui DIPA Pengadilan Agama.
(4) Pemberi jasa yang akan bertugas di Pos Bantuan Hukum ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama melalui kerjasama kelembagaan dengan organisasi profesi advokat, organisasi bantuan hukum dari unsur Perguruan Tinggi, dan oganisasi bantuan hukum dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 16 dan 18 SEMA No.10 Tahun 2010 hanya memberikan gambaran umum dalam hal pembentukan Posbakum. Sehingga, tidak ada keterangan lebih lanjut tentang persyaratan tentang lembaga bantuan hukum seperti apa yang boleh bekerja sama dengan pengadilan agama dalam hal pembentukan Posbakum, kemudian petunjuk pelaksanaan menyempurnakan tata cara dalam pembentukan Posbakum disetiap pengadilan agama pada pasal 7, 8, dan 11, yang berbunyi:
Pasal 7
Pembentukan
(1) Setiap Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah segera mempersiapkan pembentukan Pos Bantuan Hukum meliputi penyiapan ruangan, dan sarana prasarana sekurang-kurangnya terdiri dari meja, kursi, filling cabinet.
(2) Pos Bantuan Hukum dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Pemberi Jasa
(1) Pemberi jasa pada Pos Bantuan Hukum adalah:
a) Advokat;
b) Sarjana;
c) Sarjana Syari’ah;
(2) Pemberi jasa sebagaimana tersebut pada angka (1) di atas berasal dari organisasi bantuan hukum dari asosiasi profesi advokat, organisasi bantuan hukum dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Pemberi jasa yang akan bertugas pada Pos Bantuan Hukum ditunjuk oleh pimpinan Lembaga Bantuan Hukum yang bersangkutan.
Pasal 11
Rekruitmen
(1) Pelaksanaan rekruitmen lembaga penyedia petugas pemberi jasa bantuan hukum dilakukan dengan metode swakelola dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, non diskriminasi, keterbukaan , akuntabilitas, dan kepekaan jender;
(2) Syarat-syarat administrasi lembaga penyedia petugas pemberi jasa hukum dari organisasi bantuan hukum dari organisasi profesi advokat adalah:
a) Terdaftar di kementerian Hukum dan HAM
b) Memiliki kantor dengan alamat yang jelas
c) Memiliki struktur kepengurusan yang jelas
d) Berkedudukan diwilayah hukum PA/Msy yang bersangkutan
(3) Syarat-syarat lembaga penyedia petugas pemberi jasa hukum dari organisasi bantuan hukum Perguruan Tinggi:
a) Memiliki izin pendirian lembaga bantuan hukum
b) Memiliki kantor dengan alamat yang jelas
c) Memiliki struktur kepengurusan yang jelas
d) Berkedudukan di wilayah hukum PA/Msy yang bersangkutan
(4) Syarat-syarat lembaga penyedia petugas pemberi jasa bantuan hukum dari organisasi hukum dari lembaga swadaya masyarakat adalah:
a) Terdaftar dikementerian hukum dan HAM
b) Memiliki kantor dengan alamat yang jelas
c) Memiliki struktur kepengurusan yang jelas
d) Berkedudukan di wilayah hukum PA/Msy yang bersangkutan
(5) MoU yang dibuat oleh Ketua PA /Ms, sekurang-kurangnya harus mengatur tentang:
a) Jenis jasa yang diberikan;
b) Jumlah jam layanan dalam Posbakum;
c) Prosedur pemberian jasa;
d) Jadwal pemberian jasa;
e) Sistem pembayaran imbalan jasa;
f) Sistem pengawasan dan evaluasi pemberian jasa;
g) Sistem pertanggung jawaban keuangan;
h) Berakhirnya MoU
(6) Berdasarkan MoU tersebut, PKK yang ditunjuk membuat kontrak kerja sekurang-kurangnya berisi:
a) Para pihak
b) Pokok pekerjaan
c) Nilai pekerjaan
d) Jangka waktu pelaksanaan
e) Hak dan kewajiban para pihak
2. Tugas dan kewenangan.
SEMA No.10 Tahun 2010 mengatur pula tentang tugas serta kewenangan yang diberikan kepada Posbakum yang diatur dalam pasal 17 dan pasal 19 yang berbunyi:
Pasal 17
Jenis Jasa Hukum Dalam Pos Bantuan Hukum
(1) Jenis jasa hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan Hukum berupa pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/ permohonan.
(2) Jenis jasa hukum seperti pada ayat (1) di atas dapat diberikan kepada penggugat/pemohon dan tergugat/termohon.
(3) Pemberian jasa hukum kepada penggugat/pemohon dan tergugat/termohon tidak boleh dilakukan oleh satu orang pemberi bantuan hukum yang sama.
Pasal 19
Penerima Jasa Pos Bantuan Hukum
Yang berhak menerima jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai penggugat/permohon maupun tergugat/termohon.
Pasal 17 SEMA No.10 Tahun 2010 menerangkan bahwa tugas dan wewenang Posbakum dalam pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan. Tetapi, yang berhak menerima jasa bantuan hukum dari Posbakum adalah orang yang tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai penggugat/permohon maupun tergugat/termohon, tetapi pemberi jasa kepada penggugat/pemohon dan tergugat / termohon tidak boleh kepada satu orang yang sama, kemudian Petunjuk pelaksanan SEMA No.10 Tahun 2010 menambahkan beberapa tugas dan wewenang kepada Posbakum yang termuat dalam pasal 13 dan pasal 9 yang berbunyi:
Pasal 13
Jenis Jasa Hukum
Jenis Jasa Hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan Hukum berupa pemberian informasi, advis, konsultasi, pembuatan gugatan/permohonan dan atau pendampingan.
Pasal 9
Penerima Jasa
(1) Penerima jasa Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas (penyandang cacat) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku .
(2) Penerima Jasa tersebut dapat sebagai penggugat/ pemohon maupun tergugat atau termohon.
Petunjuk Pelaksana SEMA No.10 Tahun 2010 menambahkan sedikit tugas dari Posbakum yaitu masalah pendampingan. dan juga, menjelaskan pengertian dari disabilitas yaitu penyandang cacat yang tidak dijelaskan oleh SEMA No.10 Tahun 2010.
3. Syarat dan Mekanisme Memperoleh Jasa dari Posbakum
Syarat dan mekanisme memperoleh jasa dari Posbakum terdapat dalam SEMA No.10 Tahun 2010 yaitu pada pasal 20 dan 22 yang berbunyi:
Pasal 20
Syarat-Syarat Memperoleh Jasa Dari Pos Bantuan Hukum
Syarat untuk mengajukan permohonan pemberian jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah dengan melampirkan:
a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong; atau
b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama.
Pasal 22
Mekanisme Pemberian Jasa Pos Bantuan Hukum
(1) Pemohon jasa bantuan hukum mengajukan permohonan kepada Pos Bantuan Hukum dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
(2) Permohonan seperti pada ayat (1) dilampiri:
a. Fotocopy Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dengan memperlihatkan aslinya; atau
b. Fotocopy Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya dengan memperlihatkan aslinya; atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat.
(3) Pemohon yang sudah mengisi formulir dan melampirkan SKTM dapat langsung diberikan jasa layanan bantuan hukum berupa pemberian informasi, advis, konsultasi dan pembuatan gugatan/permohonan.
Pasal 20 dan 22 menjelaskan tentang syarat dan mekanisme memperoleh jasa dari Posbakum secara umum, kemudian Petunjuk Pelaksana SEMA No.10 melengkapi dan menjelaskan tentang mekanisme pendaftaran secara lengkap yaitu pada pasal 12 yang berbunyi:
Pasal 12
Mekanisme Pemberian Jasa
(1) Pemberi jasa hokum memberikan layanan kepada pemohon bantuan hukum dengan melampirkan:
a) Surat Keterangan tidak mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh kepala Desa/Lurah/Banjar/Nagarai/Gampong; atau
b) Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (KPKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau
c) Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pemohon bantuan hukum dan diketahui oleh ketua pengadilan agama.
(2) Pemohon yang sudah mengisi formulir dan melampirkan surat-surat yang diperlukan langsung diberikan jasa layanan yang telah ditentukan;
(3) Bantuan hukum berupa pendampingan sebagaimana disebut pada pasal 25 ayat 1 lampiran B Perma Nomor 10 tahun 2010 dikhususkan untuk perkara jinayat pada Mahkamah Syar’iyah dan dilakukan oleh pemberi bantuan hukum yang memiliki kartu advokat
(4) Pendampingan sebagaimana disebut pada angka (3) hanya diberikan terhdap perkara yang telah dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke Mahkamah Syar’iyah
(5) Dalam hal bantuan hukum berupa pembuatan surat gugatan/permohonan, pemberi bantuan hukum membuatkannya secara utuh dan siap dilanjutkan ke meja satu
(6) Surat gugatan/permohonan yang dibuat oleh pemberi bantuan hukum diserahkan ke meja satu dalam bentuk hard copy oleh pemohon.
(7) Biaya pengadaan surat gugatan/permohonan dibebankan oleh pemohon.
(8) Apabila kedua belah pihak (penggugat dan tergugat/Pemohon dan Termohon) sama-sama mengajukan permohonan bantuan hukum, maka tidak dibenarkan bantuan dimaksud oleh pemberi bantuan hukum yang sama.
4. Imbalan Jasa
Imbalan jasa yang diberikan pengadilan agama kepada Posbakum diatur dalam SEMA No.10 Tahun 2010 pasal 21 yang berbunyi:
Pasal 21
Imbalan Jasa Bantuan Hukum
(1) Besarnya imbalan jasa didasarkan pada lamanya waktu yang digunakan oleh pemberi jasa bantuan hukum dalam memberikan layanan, bukan pada jumlah penerima jasa yang telah dilayani.
(2) Ketentuan besarnya imbalan jasa ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan mengenai standar biaya yang berlaku.
(3) Panitera Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran, berdasarkan ayat (2) di atas, membuat Surat Keputusan bahwa imbalan jasa bantuan hukum tersebut dibebankan kepada DIPA pengadilan dan selanjutnya menyerahkan Surat Keputusan tersebut kepada Bendahara Pengeluaran sebagai dasar pembayaran.
(4) Bendahara pengeluaran membayar imbalan jasa bantuan hukum dengan persetujuan Kuasa Pengguna Anggaran.
Pasal 21 di atas menjelaskan tentang bagaimana penghitungan imbalan jasa Posbakum, dimana pengadilan agama mengambil dana untuk membayar Posbakum, tetapi pembayaran imbalan jasa tersebut kemudian dilengkapi lagi oleh Petunjuk pelaksana SEMA No.10 Tahun 2010 pada pasal 10 yang berbunyi:
Pasal 10
Pembiayaan
(1) Pembayaran Jasa didasarkan pada:
a) Jumlah jam layanan yang digunakan oleh pemberi jasa bantuan hukum dalam melaksanakan tugas piket pada pos bantuan hukum
b) Jumlah jam layanan sebagaimana tersebut diatas didukung dengan bukti daftar hadir
(2) Pembayaran jasa dilakukan kepada lembaga penyedia petugas pemberi bantuan hukum.
5. Mekanisme Pengawasan dan Pertanggung Jawaban.
Mekanisme pengawasan dan pertanggung jawaban Posbakum diatur dalam pasal 23 yang berbunyi:
Pasal 23
Mekanisme Pengawasan dan Pertanggung Jawaban
(1) Pengawasan Pos Bantuan Hukum dilakukan oleh Ketua Pengadilan bersama sama dengan organisasi penyedia jasa bantuan hukum.
(2) Ketua Pengadilan Agama bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
(3) Panitera Pengadilan Agama membuat buku registrasi khusus untuk mengontrol pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
(4) Pemberi bantuan hukum wajib memberikan laporan tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama tentang telah diberikannya bantuan hukum dengan melampirkan bukti-bukti sebagai berikut:
a. Formulir permohonan dan foto kopi Surat Keterangan Tidak Mampu atau Surat Keterangan Tunjanngan Sosial lainnya, jika ada; dan
b. Pernyataan telah diberikannya bantuan hukum yang ditandatangani oleh pihakpemberi dan penerima bantuan hukum.
(5) Kuasa Pengguna Anggaran menyimpan seluruh bukti pengeluaran anggaran sesuai ketentuan.
(6) Bendahara pengeluaran melakukan pembukuan setiap transaksi keuangan untuk penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum sesuai ketentuan.
(7) Panitera/Sekretaris melaporkan pelaksanaan pos bantuan hukum melalui SMS Gateway dan laporan lainnya sesuai ketentuan.
Pasal 23 diatas menjelaskan bagaimana pengawasan serta pertanggung jawaban yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik itu dari Posbakum dan juga pengadilan agama itu sendiri, tetapi didalam pasal 23 tersebut tidak dijelaskan bagaimana garis kordinasi antara pengadilan agama dengan lembaga penyedia jasa bantuan hukum, maka kemudian petunjuk pelaksana menerangkan bagaimana garis kordinasi antara dua lembaga terebut yang tercantum dalam pasal 14 yang berbunyi:
Pasal 14
Mekanisme Pengawasan
(1) PA/Msy dan Lembaga penyedia petugas jasa hukum berkewajiban melakukan evaluasi berkala sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali terhadap pelaksanaan perjanjian kerja sama ini.
(2) PA/Msy dan lembaga penyedia petugas jasa hukum melaksanakan pertemuan kordinasi sekurang-kurangnya 2 kali dalam kaitannya dengan kerja sama yang dijalin.
(3) Dalam melaksanakan pelayanan pos bantuan hukum secara optimal dan terpadu, PA/Msy dan lembaga penyedia petugas Jasa hukum berkordinasi dengan para pemangku kepentingan di Tingkat Provinsi atau Kabupaten /Kota.
D. Asas-asas Umum yang Terdapat di Peradilan Agama.
Asas-asas yang terdapat dalam Peradilan Agama ada delapan macam, yaitu: (1) asas personalitas keislaman; (2) asas kebebasan; (3) asas wajib mendamaikan; (4) asas sederhana, cepat, dan biaya ringan; (5) asas persidangan terbuka untuk umum; (6) asas legalitas; (7) persamaan; (8) asas aktif memberi bantuan.
Asas umum merupakan fondamentum umum dan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan semangat undang-undang. Olehkarena itu, pendekatan penafsiran, penerapan, dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam asas umum. Pada dasarnya Posbakum sebagai lembaga yang membantu masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu, tidak hanya berpegang pada SEMA No.10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum serta petunjuk pelaksanaanya. tetapi juga, harus memperhatikan asas-asas umum yang ada di Peradilan Agama, yaitu:
1. Asas Personalitas Keislaman
Asas ini diatur dalam pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat 1 Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang peradilan Agama, yang maksud dari pasal diatas adalah menegaskan bahwa:
a. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam;
b. Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara yang termasuk dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah;
c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum islam.
Menurut M. Yahya Harahap, dari ketiga keterangan tersebut dapat dilihat bahwa asas personalitas keislaman sekaligus dikaitkan bersamaan dengan perkara perdata tertentu, sepanjang mengenai sengketa perkara perdata bidang tertentu, sepanjang mengenai sengketa perkara yang menjadi wewenang peradilan agama. Oleh karena itu, ketundukan personalita muslim kepada lingkungan peradilan agama, tidak merupakan ketundukan yang bersipat umum, yang meliputi semua bidang perdata.
Asas personalitas menjadi sempurna dan mutlak, apabila didukung dan tidak terpisahkan dengan unsure hubungan hukum yang berdasarkan hukum islam. Adapun patokan yang dipakai pada asas ini berdasarkan patokan umum dan patokan saat terjadi hubungan hukum. Patokan umum berarti apabila seseorang telah mengaku beragama Islam, maka pada dirinya telah melekat asas personalitas keislaman, sedangkan patokan pada saat terjadi hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat, yaitu:
a. Pada saat terjadi hubungan hukum antara kedua pihak sama-sama beragama Islam;
b. Hubungan ikatan hukum yang mereka laksanakan adalah berdasarkan hukum islam.
Berbeda dengan pendpat diatas, Prof. Abdul Ghani Abdullah menyatakan bahwa asas ini lebih menekankan pada asas agama pihak pengaju perkara, tanpa memperdulikan agama pihak lawan. Jadi, dalam masalah perkawinan beda agama, apabila terjadi perceraian, maka stelsel hukum yang digunakan mengacu pada hukum agama pemohon/penggugat.
2. Asas Kebebasan.
Asas kebebasan diatas sangat erat kaitannya dengan kebebasan kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan tugasnya kebebasan ini, yaitu:
a. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara yang lain. Bebas disini berarti berdiri sendiri, tidak berada di bawah pengaruh dan kendali badan eksekutif, legislative, atau badan kekuasaan lainnya.
b. Bebas dari paksaan, arahan atau rekomendasi yang datang dari pihak extra yudicia, artinya hakim tidak boleh dipaksa diarahkan atau direkomendasikan dari luar lingkungan kekuasaan peradilan.
c. Kebebasan melaksanakn wewenang peradilan. Dalam hal ini, sifat kebebsan hukum tidak mutlak, tapi terbatas pada:
1) Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang benar dan tepat dalam menyelesaikan perkara yang sedang diperiksanya.
2) Menafsirkan hukum yang tepat melalui metode penafsiran yang dibenarkan.
3) Bebas mencari dan menemukan hukum, dasar-dasar dan asas-asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, hukum adat, yurisprudensi, dan melalui pendekatan realisme.
Kebebasan hakim untuk mencari dan menemukan hukum ini erat kaitannya dengan asas yang melarang hakim atau pengadilan menolak memeriksa perkara yangdiajukan dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas.
3. Asas Wajib Mendamaikan.
Asas kewajiban mendamaikan diatur dalam pasal 65 dan 82 UU No. 7 Tahun 1989 . menurut ajaran islam, apabila ada perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui pendekatan “Ishlah” yang tercantum dalam Al-Qur’an
•
Artinya:
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 10)
Asas wajib mendamaikan ini merupakan kewajiban hakimuntukmendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, sesuai benar dengantuntutan ajaran ahlak Islam. Jadi, hakim peradilan agama selayaknya menyadari dan mengemban fungsi mendamaikan. Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para pihak yang berperkara,tidak ada yang dimenangkan atau dikalahkan. Kedua pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah dan mereka dapat pulih kembali dalam suasana rukun dan persaudaraan.
4. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.
Asas ini tercantum dalam pasal 57 ayat (3) No.50 Tahun 2009 yang berbunyi: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
Makna dan tujuan asas ini bukan sekedar menitikberatkan unsur cepat dan biaya ringan. Bukan pula bertujuan menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara perceraian secara cepat,jadi hakim dituntut dalam menerapkan asas ini adalah:
a. Sikap moderat artinya dalam pemeriksaan tidak cenderung tergesa-gesa, dan tidak pula disengaja dilambat-lambatkan. Pemeriksaan dilakukan secara seksama dan wajar, rasional, dan objektif dengan cara memberi kesempatan yang berimbang dan sepantasnya kepada masing-masing pihak yang bersengketa;
b. Tidak boleh mengurangi ketetapan pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesederhanaan dan kecepatan pemeriksaan, tidak boleh dimanipulasi untuk membelokkan hukum, kebenaran, dan keadilan.
Menurut M. Yahya Harahap, agar penerapan asas ini mempunyai nilai keadilan yang hakiki, tidak terlepas kaitannya dengan fungsi pelayanan yang baik, sopan, rendah hati, dan manusiawi. Jadi, dalam melaksanakan fungsi pelayanan ini hakim harus benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah pejabat yang mengabdi bagi kepentingan penegakan hukum.
5. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum.
Asas ini terkandung dalam pasal 59 UU Nomor 50 Tahun 2009 ayat 1 yang berbunyi:
“Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain atau jika hakim dengan alas an-alasan yang penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup”
Pengertian dan penerapan asas ini mempunyai makna yang luas yaitu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan persidangan. Di samping itu termasuk juga mengenai keluwesan dan kebijaksanaan para hakim dalam menyiapkan akomodasi bagi para pengunjung sidang, ketertiban, pengambilan foto, dan reportase. Pada dasarnya, asas ini bertujuan untuk menghindari adanya pemeriksaan yang sewenang-wenag dan menyimpang.
6. Asas Legalistis.
Asas ini tercantum dalam pasal 58 ayat 1 UU Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”, dari rumusan ini dapat dipahami bahwa asas legalistis terkandung di dalamnya sekaligus berbarengan dengan penegasan persamaan hak dan derajat setiap orang yang berperkara di depan sidang pengadilan baik asas legalistis maupun persamaan hak, keduanya mengandung hak asasi setiap orang. Asas legalistis meliputi hak asasi yang berkenaan dengan hak perlindungan hukum dan asas persamaan hubungan dengan persamaan di hadapan hukum atau asas equality.
7. Asas Equality
Makna equality adalah persamaan hak. Apabila asas ini dihubungkan dengan fungsi peradilan, artinya adalah setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan sidang pengadilan. Jadi, hak dan kedudukan adalah sama di depan hukum.
Sehubungan dengan asas equality ini, maka dalam praktik pengadilan, terdapat tiga buah patokanyang fundamental , yaitu:
a. Persamaan hak atau derajat dalam proses persidangan atau “equal before the law”.
b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection in the law”
c. Mendapatkan perlakuan di bawah hukum atau “equal justice under the law”
Ketiga patokan ini merupakan satukesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Penerapannya tidak samasecara sendiri-sendiri. Ketiganya harus diterapkan serempak dan bersama-sama. Dengan perkataan lain, ketiganya merupakan rangkaian fundamental yang harus diterapkan secara utuh dalamsatu kesatuan yang tak terpisahkan.
8. Asas Aktif Memberikan Bantuan.
Asas ini dicantumkan dalam pasal 58 ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009 yang berbunyi:
“Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Dalam proses pemeriksaan perkara sidang di pengadilan hakim bertindak sebagai pemimpin sidang. Oleh karena itu, dia mengatur dan mengarahkan tata tertib pemeriksaan. Selain itu, hakim juga berwenang menentukan hukum yang diterapkan dan berwenang memutuskan perkara yang disengketakan.
Objek bantuan yang dapat diberikan oleh hakim dibagi menjadisudut yaitu berupa batasan umum dan berupa rincian masalah yang dapat dijangkau hakim dalam memberikan bantuan atau nasihat. Tentang batasan umum dapat dijelaskan bahwa pemberian bantuan atau nasihat adalah sesuai dengan hukumsepanjang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah formal. Artinya, jangkauan fungsi pemberian nasihat dan bantuan tersebut terutama berkenaan tata cara berproses di depan sidang pengadilan.
Komentar
Posting Komentar